Anak-anak di Indonesia tidak melaporkan eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring,
Lebih dari 80% pekerja lini depan yang disurvei percaya ketidaknyamanan saat mendiskusikan seks dan stigma dari masyarakat membuat mereka enggan melapor
Sebuah laporan baru yang dirilis hari ini oleh ECPAT, INTERPOL, dan Kantor Penelitian UNICEF - Innocenti, menemukan anak-anak di Indonesia menjadi sasaran pelecehan dan eksploitasi seksual daring, tetapi tidak melaporkannya.
Laporan Disrupting Harm di Indonesia mengungkapkan stigma terkait pembicaraan seputar seks membuat anak-anak enggan menyampaikan kekhawatiran dan melaporkan kasus pelecehan seksual. Selain itu, pekerja lini depan yang diwawancarai sebagai bagian dari penelitian ini mengatakan mereka percaya stigmatisasi korban kekerasan seksual di Indonesia juga mencegah anak-anak melaporkan eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring. Sebagai contoh, 76% dari 995 anak dan 85% pengasuh mereka yang disurvei mengatakan jika gambar atau video seksual yang anak buat dibagikan orang lain itu adalah kesalahan mereka. Fonemena ini mengaburkan fakta bahwa konten seksual yang dibuat anak bisa diperoleh melalui paksaan atau penipuan.
Ketika anak-anak tidak tahu tentang seks, memungkinkan pelaku memanfaatkan mereka dan Disrupting Harm di Indonesia menemukan pengetahuan dan pemahaman anak tentang keamanan dan seks daring juga rendah. 41% anak-anak tidak pernah menerima informasi apa pun tentang cara agar tetap aman saat daring. 72% anak yang disurvei mengatakan mereka tidak pernah menerima pendidikan seks, dan dari anak-anak yang menerima pendidikan seks, 85% mengatakan sebagian besar berkaitan dengan moralitas. Pendidikan seks yang komprehensif harus memberi anak-anak informasi yang relevan, sesuai usia, dan faktual sehingga mereka siap menghadapi pelaku yang mencoba menyakiti mereka.
Pemahaman bahwa eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring harus dianggap sebagai kejahatan serius di Indonesia juga rendah. Seorang petugas lini depan mengatakan, “Masyarakat umumnya belum memahami bahwa pelecehan seksual terhadap anak dapat terjadi secara daring, tanpa perlu bertemu antara korban dan pelaku.” Wawancara dengan perwakilan pemerintah juga menunjukkan minimnya kesadaran masyarakat akan eksploitasi dan penyalahgunaan seksual anak secara daring di Indonesia.
Dari anak-anak yang melaporkan pelecehan daring yang mereka alami, sangat sedikit anak yang langsung melapor ke mekanisme pelaporan formal, seperti polisi. Sebagian besar kasus yang diproses penegak hukum berasal dari laporan yang dibuat orang dewasa atas nama mereka. Lebih lanjut, perwakilan pemerintah Indonesia mengatakan meski ancamana eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring meningkat di Indonesia, upaya pemerintah saat ini untuk mengatasinya masih terbatas.
Terlepas dari rendahnya jumlah laporan resmi, anak-anak di Indonesia jelas menjadi sasaran pelecehan dan eksploitasi seksual daring. Data Disrupting Harm di Indonesia menunjukkan 2% anak pengguna internet berusia 12-17 tahun melaporkan mengalami contoh nyata pelecehan dan eksploitasi seksual secara daring, seperti anak-anak yang diancam atau diperas untuk melakukan aktivitas seksual dalam satu tahun terakhir. Jumlah ini kemungkinan besar tidak sesuai kenyataan, karena anak-anak mungkin tidak nyaman mengungkapkan pengalaman ini.
Untuk mengatasi eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring di Indonesia, perlu upaya komprehensif untuk mengedukasi masyarakat, dan dukungan anggaran yang mendesak. Ketersediaan layanan pendukung saat ini dibatasi oleh sumber daya manusia dan keuangan yang tidak mencukupi, koordinasi yang lemah, dan kurangnya layanan yang menjangkau semua bidang. Tantangan-tantangan ini harus segera diatasi untuk menjaga anak-anak tetap aman saat daring.
Tentang Disrupting Harm
Di awal tahun 2019, Global Partnership to End Violence Against Children, melalui inisiatif Safe Online, menginvestasikan $7 juta untuk mengembangkan Disrupting Harm, sebuah proyek penelitian holistik dan inovatif yang bertujuan lebih memahami bagaimana teknologi digital memfasilitasi eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Safe Online menyatukan dan mendanai tiga organisasi –ECPAT, INTERPOL dan Kantor Penelitian UNICEF – Innocenti– untuk melakukan penelitian baru di 13 negara di Afrika Timur dan Selatan serta Asia Tenggara. Jenis penelitian dan penilaian holistik ini unik. Metodologi yang dikembangkan untuk penilaian ini telah diterapkan di 13 negara dan dapat digunakan oleh negara lain di masa mendatang.
Laporan selengkapnya dapat dibaca di sini: https://www.end-violence.org/disrupting-harm#country-reports
Apa itu Eksploitasi dan Pelecehan Seksual Anak Daring (OCSEA)? Eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring (OCSEA) mengacu pada situasi yang melibatkan teknologi digital, internet dan komunikasi di beberapa titik selama kontinum pelecehan atau eksploitasi. OCSEA dapat terjadi sepenuhnya daring atau melalui campuran interaksi daring dan tatap muka antara pelaku dan anak-anak.